Polemik Hisab-Rukyah Perbedaan Awal Ramadhan.

By Admin Warta Kominfo 11 Mar 2024, 14:17:25 WIB Dunia Islam
Polemik Hisab-Rukyah Perbedaan Awal Ramadhan.

Jendela Ramadhan (1)

Oleh: DR. Aco Musaddad HM.

Kadis Kominfo SP Polewali Mandar dan Pengurus Dewan Mesjid Indonesia (DMI) Polewali Mandar.

Baca Lainnya :


Polemik Hisab-Rukyah Perbedaan Awal Ramadhan.

Ramadhan 1445 Hijrah atau 2024  M, kembali terjadi perbedaan pendapat terkait penetapan awal puasa. Kementerian Agama sebagai lembaga yang punya otoritas dalam penetapan awal puasa telah berusaha menyatukan perbedaan-perbedaan tersebut dengan menggelar sidang itsbat yang dihadiri oleh para ulama, ilmuwan, para pakar hisab-rukyat, dan perwakilan dari berbagai organisasi massa yang ada di Indonesia. Hanya saja ada kelompok yang tidak mengikuti sidang itsbat tersebut dengan alasan mereka telah memiliki metode penetapan sendiri.


DR.KH Abdul Ghofur Maimoen, M.A (Gus Ghofur) putra ulama terkemuka Indonesia KH Maimoen Zubair, menuliskan catatan pribadi waktu kuliah di Universitas Al Azhar Mesir ia bercerita:


“Di Al Azhar Mesir, saya bertemu dengan sejumlah guru yang mengesankan. Salah satunya adalah Syekh Prof. Dr. Musa Syāhīn Lāsyīn. Ia adalah guru besar di bidang Hadis. Di antara karyanya yang populer adalah Fatḥ al Mun’īm fī Syarḥ Ṣaḥīḥ Muslim dan Al Manhal al Ḥadīṡ fī Syarḥ Aḥādīṡ al Bukhāriyy. Penampilannya bersahaja, ramah, dan terbuka saat memberi kuliah. 

Pagi itu adalah awal Ramadhan. Saya ke kampus dan masuk di ruang perkuliahannya. Ia bertanya kepada santri-santrinya, kapan memulai puasa Ramadhan. Tentu saja kami memulai puasa di hari itu. Tak ada tradisi berbeda memulai puasa di sini. Semua seragam, sesuai dengan pengumuman Pemerintah. Hal yang tak saya duga, tiba-tiba ia menyampaikan bahwa menurutnya puasa Ramadhan seharusnya dimulai kemaren sesuai perhitungan hisab. Ia tampak lebih menyetujui metode hisab ketimbang rukyah. Akan tetapi, Pemerintah mengumumkan puasa hari ini, dan ia lebih memilih mengikutinya ketimbang mempertahankan pendapat pribadinya.

Sikapnya ini ia sampaikan juga dalam karnya, Fatḥ al Mun’īm fī Syarḥ Ṣaḥīḥ Muslim. Dalam karyanya ini, setelah menyampaikan argumentasinya yang tampak sangat jelas membela metode hisab ia mengakhirnya dengan statemen bahwa pada akhirnya masyarakat diharuskan mengikuti keputusan hakim (pemerintah). Hakim yang (kelak akan) mempertanggung jawabkan ijtihad dan keputusannya di hadapan Allah. Selain yang melihat hilal dan pengguna hisab harus mengikuti pemerintah”.


Menurut Gus Ghofur

Sepertinya, Indonesia membutuhkan banyak tokoh seperti beliau. Harapan banyak masyarakat agar kita memiliki lebaran yang sama, Ramadhan yang sama dan Idul Adha yang sama saya kira sangat besar. Rasanya itu hanya bisa terwujud jika tokoh-tokohnya memiliki kerendahan hati bahwa ijtihadnya bukanlah kebenaran mutlak yang harus dipertahankan mati-matian meski harus mengorbankan kebersamaan umat yang tentu saja jauh lebih penting. 

Mahasiswa Indonesia di Mesir beragam latar-belakangnya. Mungkin kebanyakan mereka berafiliasi pada organisasi-organisasi besar di Nusantara. Selama di Mesir, tak pernah saya mendengar ada friksi hisab-rukyah. Apapun keputusan Pemerintah diikuti oleh semuanya. Tak ada yang mempersoalkan metode yang digunakannya. Sama halnya dengan jamaah haji Indonesia saat berada di Arab Saudi. Semua—dengan latar belakangnya yang sangat beragam—juga patuh menjalankan keputusan Pemerintah Saudi dalam penentuan wukuf di Arafah. Secara sederhana dapat kita pahami, bahwa mereka sebetulnya meyakini bahwa keputusan yang diambil oleh Pemerintah Mesir dan Pemerintah Saudi dapat dibenarkan dan sah diikuti, meski mungkin tidak sama dengan pendapat pribadi sebagian mahasiswa dan jamaah haji. Tampaknya, pendapat pribadi saat di luar negeri tidak tersemai dalam tanah yang subur sehingga tidak muncul. 


Syekh Yusuf Al Qardhawi dalam bukunya, Aṣ Ṣaḥwah al Islāmiyyah baina al Ikhtilāf al Masyrū’ wa at Tafarruq al Mażmūm, membagi perbedaan pendapat ke dalam dua kategori. Pertama perbedaan pendapat dengan latar belakang khuluqiyyah, latar belakang akhlak. Kedua perbedaan pendapat dengan latar belakang fikriyyah, murni sudut pandang pemikiran. Perbedaan pertama sangat tercela. Ia lahir dari kesombongan, membanggakan diri, fanatik terhadap tokoh atau kelompok dan organisasi tertentu. Untuk menghindarinya sangat dibutuhkan kerendahan hati. Sementara perbedaan kedua lahir dari berbagai sudut pandang, kecenderungan berpikir dan orientasi diri.  Semoga perbedaan yang terjadi selama ini murni perbedaan fikriyyah, bukah khuluqiyyah.”


Perbedaan pendapat penentuan awal Ramadhan dan lebaran di Indonesia sudah menjadi hal yang biasa,  terdapat kelompok yang menggunakan metode Rukyat dan kelompok menggunakan metode hisab.

Pertama. Metode Rukyat, mayoritas ulama dari madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali menyatakan awal Ramadhan hanya bisa ditetapkan dengan menggunakan metode rukyat (observasi/mengamati hilal) atau istikmal, yaitu menyempurnakan bulan sya’ban menjadi 30 hari. Mereka berpegang Firman Allah SWT dalam Surat Al Baqarah ayat 185; _Maka barangsiapa di antara kalian menyaksikan bulan maka hendaklah berpuasa (pada) nya_ .”  

Dan Hadits Nabi Muhammad SAW.

Rasulullah SAW bersabda: 

“Berpuasalah kalian karena melihat hilal dan berbukalah kalian karena melihatnya. Jika kalian terhalang (dari melihatnya) maka sempurnalah bulan sya’ban menjadi tiga puluh  hari. (HR.Bukhari. Hadits No.1776).


Kedua: Metode Hisab, pendapat ini diutarakan oleh sebagian ulama, meliputi Ibnu Suraij, Taqyuddin al-Subki, Mutharrif bin Abdullah dan Muhammad Muqatil, menyatakan bahwa awal puasa Ramadhan dapat ditetapkan dengan metode hisab (perhitungan dengan menentukan posisi hilal). Dengan dasar Firman Allah SWT dalam surat Yunus ayat 5: 

“Dialah Allah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya, dan Dialah yang menetapkan tempat-tempat orbitnya, agar kamu mengetahui bilangan tahun, dan perhitungan (waktu). 

Dan hadits Nabi Muhammad SAW.

Rasulullah SAW bersabda: 

“Jika kalian melihat hilal (hilal Ramadhan) maka berpuasalah, dan jika kalian melihat hilal Syawal, maka berbukalah, dan jika kalian terhalang dari melihatnya maka perkirakanlah.


Dari kedua pendapat di atas, tampaknya pendapat kelompok pertama yang menyatakan bahwa Ramadhan hanya bisa diterapkan dengan rukyat dan istikmal merupakan pendapat yang sangat kuat, karena dalil-dalil yang mereka kemukakan sangat jelas dan tegas menyatakan tersebut. Meskipun demikian pendapat kedua juga memiliki dasar yaitu seiring dengan kemajuan teknologi terutama dalam bidang astronomi, peran hisab sangatlah urgen dalam mendukung hasil rukyat. Apalagi, metode hisab yang didukung dengan alat modern tentunya memiliki akurasi yang sangat tinggi. (Husnul Haq; _Beda Pendapat Ulama soal Penetapan Awal Ramadhan_ )


Tentunya kedua metode tersebut mempunyai dasar masing-masing dalam penggunaan metode tersebut. Marilah kita tetap menghormati perbedaan selama memiliki dasar yang dapat dipertanggungjawabkan, semoga amal ibadah kita di bulan Ramadhan ini diterima oleh Allah SWT. Selamat menunaikan Ibadah Puasa.





Write a Facebook Comment

Tuliskan Komentar anda dari account Facebook